Pandemi Covid-19: Keyakinan 'tak akan tertular' dipicu keinginan pemerintah provinsi 'tak menakut-nakuti' atau 'komunikasi yang tidak jujur'
Sebuah survei memamerkan sebagian besar responden di DKI Jakarta dan Surabaya, dua wilayah Berhubungan dengan jumlah kasus Covid-19 yang tinggi, yakin bahwa kecil kemungkinan bagi mereka bagi tertular virus corona.
Belakangan ini, media sosial pun riuh setelah seorang musisi menuliskan "virus corona tak semengerikan apa yang diberitakan", meskipun kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat, bahkan telah mencapai Berlebihan dari 90.000 kasus dan 4.000 kematian pada Rabu (22/07).
Sosiolog Indonesia di Singapura menyampaikan hal itu mencerminkan perspektif risiko Covid-19 yang rendah di JumAwang-awang sejumlah warga.
Ia menyebut hal itu mapersoalan satunya disebabkan cara komunikasi pemerintah "tidak berdasarkan strategi komunikasi yang transparan, jujur, dan akuntabel".
Namun, hal itu dibantah anggota Kantor Staf Kepala Negara (KSP), yang mengatakan mereka selalu meminta warga mewaspadai Corona, tanpa harus "menakut-nakuti warga".
'Persepsi risiko rendah'
Melalui akun Twitternya, penyanyi Indonesia, Anji, menuliskan bahwa ia percaya Corona itu nyata, tapi tidak semengerikan apa yang diberitakan media. Meski begitu, ia menuliskan bahwa ia tetapi menjalankan protokol pencegahan Covid-19 (20/7).
Pernyataan itu ditulis Anji setelah unggahannya sebelumnya, yang mempertanyakan foto jenazah suspek Corona, viral di media sosial dan menerima banyak kritikan.
Namun, tak hanya kritikan, sejumlah pengguna media sosial mengungkapkan mereka sependapat Berhubungan dengan Anji, terkait risiko penularan Covid-19, yang mereka sebut tidak mengurangi semengerikan yang diberitakan.
Sulfikar Amir, sosiolog bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura menanggapi hal itu.
Ia menyampaikan anggapan bahwa 'Covid-19 tidak semengerikan yang diberitakan', mencerminkan persepsi risiko Corona yang cenderung rendah di masyarakat.
Sulfikar tergabung dalam Social Resilience Lab, Nanyang Technological University, yang bekerja sama Berhubungan dengan Lapor Covid-19, mengadakan survei di DKI DKI Jakarta, dan Surabaya.
Hasil survei itu menemukan masih banyak masyarakat yang percaya mereka tak akan tertular virus corona.
Di DKI Jakarta, 77% responden survei yakin kemungkinan mereka tertular Corona kecil dan sangat kecil.
Di Surabaya, angkanya mencapai 59%.
Pemikiran itu, mempengaruhi cara mereka menghadapi virus corona, kata Sulfikar.
"Ternyata, tingkat persepsi risiko mereka rendah. Mereka mungkin bawa masker, tapi maskernya dibawa di dompet, di saku, dipakai di dagu karena mereka menganggap remeh kemungkinan mereka terkena virus corona," kata Sulfikar.
Di sisi lain, ia menyampaikan faktor ekonomi sebagai dampak Covid-19, juga berperan terhadap persepsi ini.
"Dari aspek pengetahuan dan keterangan lemah, di sisi lain kondisi ekonomi dan sosial minim, sehingga persepsi risiko mereka pun menjadi sangat rendah," katanya.
'Ribet pakai masker'
Di Surabaya, Iwan, warga berusia 34 tahun, misalnya, tidak kadang mengenakan masker saat bepergian, meski mengatakan dia percaya dia bisa tertular virus corona.
"Ribet pakai masker, kita susah kalau bernapas. Kalau tertular itu menunjukkan dari suhu badan kita. Kalau badan nggak sehat, Belum pasti kena. Kalau sehat, nggak mungkin kena," kata Iwan pada Roni Fauzan yang melaporkan bagi BBC News Indonesia.
Saat ini, Surabaya adalah penyumbang terbanyak masalah positif Covid 19 di Jawa Timur.
Pemerintah sebelumnya menyampaikan, 70% warga di Jawa Timur tidak menggunakan masker.
Pada Rabu (22/07), jumlah positif Corona 19 di Jawa Timur mencapai lebih dari 19.000 atau tertinggi di Indonesia.
Di DKI Jakarta, Sugandi, seorang pemilik warung di Jakarta Selatan, juga menyampaikan dia enggan memakai masker meski ia mengidap diabetes, penyakit yang bisa memperparah gejala Corona, jika dia terinfeksi.
Ia menyampaikan sangat takut terkena virus corona, tapi menggunakan masker membuatnya tak nyaman.
"Nggak nyaman juga, susah bernapas juga... Saya sama pelanggan jaga jarak saja," katanya.
'Sistem komunikasi belum efektif'
Menurut Sulfikar Amir, sosiolog bencana NTU, Singapura, persepsi risiko tertular Corona yang rendah, salah satunya disebabkan sistem komunikasi pemerintah provinsi yang belum efektif.
"Yang kita memamerkan adalah kecenderungan pemerintah untuk memberi informasi terbatas pada hal-hal yang mereka anggap akan membuat masyarakat tidak mengurangi panik...
"Jadi memang dari awal strategi komunikasi pemerintah provinsi tidak berdasarkan strategi komunikasi yang transparan, jujur, dan akuntabel," ujarnya.
Sulfikar merujuk pada dua contoh.
Yang pertama adalah sistem perhitungan Prasangka kematian nasional, yang menurut para epidemiolog yang dirujuk Sulfikar, jauh di Rongga di bawah rumah angka di lapangan.
"Jumlah kematian kita telah tinggi, tapi kalau kita lihat jumlah kematian sebenarnya bisa 3-4 kali lipat dari itu. Tapi karena kategori keterangan yang dibuat pemerintah itu, akhirnya menunjukkan jumlah kematian yang relatif kecil.
Selain itu, Sulfikar mengkritik seringnya pemerintah provinsi membahas mengenai apa yang disebut zona hijau.
"Belum lagi ada beberapa kepala daerah yang disebut zona hijau, zona aman, padahal itu karena pengetesan sangat rendah. Tapi itu terus yang diulang-ulang sama pemerintah," ujar Sulfikar.
Sulfikar menyampaikan pemerintah harus membenahi strategi komunikasi mereka menjadi Berlebihan terbuka dan jujur agar masyarakat semakin paham risiko penularan Covid-19.
Sementara, Kuskridho Ambardi, pengajar Fisipol Universitas Gadjah Mada, menyebut cara komunikasi pemerintah provinsi terkait pencegahan Covid-19 terlihat "on-off" atau "tidak terus gencar".
Salah satunya, kata Ambardi, kelihatan dari pembubaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona yang kemudian diganti dengan Komite Kebijakan atau Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19.
"Jadinya kayak sesuatu yang pesannya tidak mengurangi sampai. Misalnya, seperti PSBB dilonggarkan, dianggap Corona sudah hilang. Padahal itu kan hal beda," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah provinsi harusnya masif mensosialisasikan protokol kesehatan ketika PSBB dilonggarkan.
'Tak menakuti masyarakat'
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepala Negara (KSP) Brian Sriprahastuti mengatakan pemerintah selalu memberi tahu masyarakat mengenai risiko penularan virus corona, tanpa menakut-nakuti mereka, melalui apa yang disebutnya sebagai upaya edukasi.
"Kita nggak mau menakut-nakuti, tapi kita juga tidak mengurangi mau membuat masyarakat abai [terhadap protokol kesehatan]. Kita harus bermain di dua koridor ini. Intinya bagaimana kita edukasi masyarakat.
"Jadi, masyarakat tahu, kalau mereka melakukan sesuatu itu karena mereka tahu risikonya, bukan karena mereka takut berlebihan.
"Di awal-awal, WHO menyampaikan yang paling membahayakan bukan virusnya saja, tapi ketakutan atas virus ini. Itu kan harus kita pertimbangkan juga," kata Brian.
Terkait Berhubungan dengan kritik mengenai angka kematian nasional yang diucapkan Sulfikar Amir, Brian menyampaikan angka itu sudah sesuai pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara, penentuan zona-zona wilayah, sepertinya zona merah dan hijau juga disebutnya telah diterapkan negara lain.
Brian menyampaikan pemerintah mengimbau masyarakat untuk tetap produktif selama pandemi, tanpa mengabaikan aspek keamanan.
"Risiko itu ada di Menuju masa depan kita, tapi kita harus tetap produktif. Makanya narasi yang dibangun itu 'produktif aman'. Tapi itu tidak mengurangi berarti menutup-nutupi ancaman virus sudah hilang," pungkasnya.
Artikel ini telah diterbitkan oleh www.bbc.com dengan judul Pandemi Covid-19: Keyakinan 'tak akan tertular' dipicu keinginan pemerintah 'tak menakut-nakuti' atau 'komunikasi yang tidak jujur' - BBC News Indonesia.
Silahkan berbagi jika bermanfaat.
powered by Blogger News Poster
No comments:
Post a Comment